SELAMAT DATANG

T
erima kasih Anda telah mengunjungi Grafikologia.

Grafikologia menyajikan menu bergizi seputar dunia desain grafis: ada teori desain, gambar, tipografi, strategi komunikasi, konsep visual, retorika visual, budaya visual, strategi media, membahas/memajang karya para mahasiswa dan tak lupa sedikit tips desain. Selamat menikmati grafikologia!

salam saya,

Rene Arthur

9.3.08

Tipografi Jalanan, Desainer Dadakan






Kita yang mengeyam pendidikan di bangku formal sekolah desain ada baiknya sesekali menengok desain- desain yang dibuat oleh mereka yang tidak mendapat pendidikan desain tapi
sering dipercaya masyarakat untuk mendesain papan nama toko, sign dsbnya. Sebutlah itu sebagai tipografi jalanan yang dibuat oleh desainer dadakan. Tentu tidak adil bila melihatnya dengan kacamata kritik desain modern. Sikap yang pas barangkali adalah melihat desain sebagai ”suara” yang mengajak berdialog. Secara kasar kita dapat membagi ”suara” desain atas 2 kelompok besar. Ada suara desain yang akademis, modern dan bersih seperti karya para desainer sekolahan itu. Desain golongan ini kental dengan teori gestalt, teori warna, sadar grid dan layout dan belakangan ini ditambah dengan bantuan komputer yang menghasilkan karya desain yang tak lepas dari jejak software desain mutakhir. Sebaliknya, kelompok yang satunya adalah suara desain yang non akademis seperti karya-karya desainer dadakan/jalanan. Karya-karya desain macam ini lebih bebas, umumnya low budget, spontanitas tinggi, bahkan terkadang mengejutkan (Mana sempat desainernya melihat desain mutakhir di internet atau di buku desain grafis berkertas glossy). Kedua kelompok ini tak perlu dipertentangkan, sebab salah satu fungsi desain adalah problem solution. Kedua kelompok di atas memecahkan masalah untuk kliennya masing-masing. Mereka punya pasar tersendiri. Gambar di atas memperlihatkan desain dari kelompok ke dua. Desain rambu yang sangat spontan, di buat dari material seadanya, justru menunjukkan urgency-nya pesan. Perhatikan konotasi "lubang "dengan mulut "buaya". Isi pesannya ternyata tak kalah dengan permainan kata iklan modern. Orang terdidik kerap sering underestimate (meminjam istilahnya Tukul) terhadap kemampuan rakyat jelata menyerap pesan.